10 Jun 2013

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Anak-anak berkebutuhan khusus adalah anak-anak yang mempunyai keunikan tersendiri dalam jenis dan kararteristiknya, yang membedakan mereka dari anak anak normal pada umumnya. Keragaman anak berkebutuhan khusus terkadang menyulitkan guru dalam upaya menemukan jenis dan pemberian layanan pendidikan yang sesuai. Namun apabila guru telah memiliki pemahaman dan pengetahuan tentang hakikat anak berkebutuhan khusus, maka mereka akan mampu memenuhi kebutuhan dari anak berkebutuhan khusus tersebut.
Ada beberapa istilah yang sering digunakan untuk menunjukkan keadaan anak berkebutuhan khusus. Istilah anak berkebutuhan khusus merupakan terjemahan dari child with special needsyang telah digunakan luas pada dunia internasional. Penggunaan istilah anak berkebutuhan khusus mengubah cara pandang yang berbeda akan anak luar biasa. Jika pada istilah luar biasa lebih menitik beratkan pada kondisifisik, mental, dan emosi social anak maka pada berkebutuhan khusus lebih menekankan pada kebutuhan anak untuk mencapai prestasi sesuai dengan kebutuhaannya.
Pemerintah hadir sebagai pelindung dari anak-anak berkebutuhan khusus ini. Ini dibuktikan dengan adanya beberapa landasan hukum yang melindungi anak-anak berkebutuhan khusus ini melau dari UUD 1945, UU No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat hingga PP. No. 43 Tahun 1998 tentang Upaya Kesejahteraan Sosoal Penyandang Cacat. Dari berbagai peraturan perundangan dan kesepakatan tersebut telah mencakup hampir semua hak anak-anak berkebutuhan khusus dan yang sering menjadi permasalahan adalah pelanggaran terhadap hak-hak tersebut belum jelas sanksinya.
Layanan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus ada beberapa jenis namun yan paling sering kita temui adalah layanan pendidikan segresi dimana  sistem layanan pendidikan segresi adalah sistem pendidikan yang terpisah dari sistem pendidikan anak normal. Dengan kata lain anak berkebutuhan khusus diberikan layanan pendidikan pada lembaga pendidikan khusus untuk anak berkebutuhan khusus seperti : Sekolah Luar Biasa, Sekolah Dasar Luar Biasa, Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa, dan Sekolah Menengah Atas Luar Biasa.
Sekolah Luar Biasa atau SLB merupakan sebuah unit tertua dari sekolah sekolah berkebutuhan khusus lainnya. Struktur SLB ini terdiri dari seorang kepala sekolah dan guru pada satu kelainan tertentu sehingga SLB dibagi menjadi beberapa unit yaitu SLB-A untuk tunanetra, SLB-B untuk tunarungu, SLB-C untuk tunagrahita, SLB-D untuk tunadaksa, dan SLB-E untuk tunalaras. Sistem pengajaran pada SLB lebih mengarah pada sistem pengajaran Individualisasi.
Dewasa ini pemahaman masyarakat mengenai anak berkebutuhan khusus dan layanan pendidikan yang menaunginya sangatlah minim. Oleh sebab itu penulis memandang perlu penjelasan secara khusus mengenai anak-anak yang berkebutuhan khusus serta lembaga-lembaga yang menjadi sarana pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus tersebut. Sesuai dengan tugas yang berikan, penulis akan mencoba membahan mengenai anak berkebutuhan khusus yang sering dinamakan anak tunarungu serta lembaga pendidikan nya yaitu SLB-B serta proses pembelajaran dalam upaya memaksimalkan prestasi dan potensi dari anak berkebutuhan khusus tersebut. Penulis berharap dapat memberikan informasi kepada pembaca khususnya para guru dan masyarakat luas.

1.2  Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang diangkat pada makalah ini adalah :
1.   Apakah definisi dan karakteristik dari anak tunarungu?
2. Apakah perbedaan sekolah reguler dengan sekolah khusus bagi anak       tunarungu?
3.  Bagaimanakah proses pembelajaran yang dilaksanakan bagi anak tunarungu?

1.3  Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini :
1.  Untuk mengetahui definisi dan karakteristik dari anak tunarungu.
2.  Untuk mengetahui perbedaan sekolah reguler dengan sekolah khusus bagi anak             tunarungu.
3. Untuk mengetahui proses pembelajaran yang dilaksanakan bagi anak       tunarungu.

1.4  Manfaat
Dengan adanya makalah ini pembaca dapat mengetahui lebih dalam lagi mengenai anak-anak berkebutuhan khusus, termasuk juga mengenai lembaga pendidikan yang menaunginya dan juga proses belajar dan pembelajaran yang dilakukan di lembaga pendidikan khusus tersebut. Penulis berharap makalah ini dapat dijadikan referensi yang berguna untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai anak tunarungu termasuk lembaga khusus SLB-B serta proses atau kegitan pembelajaran yang yang dilakukan anak berkebutuhan khusus tersebut.












BAB II
PEMBAHASAN

2.1.   Definisi dan Karakteristik dari Anak Tunarungu
Anak berkebutuhan khusus adalah anak-anak yang memiliki keunikan tersendiri dalam jenis dan karakteristiknya, yang membedakan mereka dari anak-nak normal pada umumnya. Jenis-jenis anak berkebutuhan khusus ini antara lain, tunanetra, tunarunggu, tunagrahita, tunadaksa, dan tuna laras.
Pada makalah ini, akan dibahas secara mendalam mengenai definisi dan karakteristik anak tunarungu. Tunarungu adalah sebuah istilah yang merujuk pada kondisi ketidak fungsian organ pendengaran atau telinga seseorang. Anak-nak dalam kondisi ini mengalami hambatan atau keterbatasan dalam merespon bunyi-bunyi yang ada disekitarnya. Tunarungu terdiri atas beberapa tingkatan kemampuan mendengar, yang umum dan khusus. Ada beberapa klasifikasi anak tunarungu, yaitu:
1.    Klasifikasi umum
a)      Tuli (The deaf), yaitu penyandang tunarungu berat dan sangat berat dengan tingkat ketulian di atas 90 dB.
b)      Kurang dengar (Hard of Hearing), yaitu penyandang tunarungu ringan atau sedang, dengan derajat ketulian 20-90 dB.
2.    Klasifikasi Khusus
a)      Tunarungu ringan, yaitu penyandang tunarungu yang mengalami tingkat ketulian 25-45 dB. Yaitu anak yang mengalami ketunarunguan taraf ringan, dimana anak dalam tahap ini mengalami kesulitan untuk merespon suara-suara yang datangnya agak jauh. Pada kondisi yang demikian, seorang anak secara pedagogis sudah memerlukan perhatian khusus dalam belajarnya di sekolah, misalnya dengan menempatkan tempat duduk dibagian depan, dekat dengan guru.

b)      Tunarungu sedang, yaitu penyandang tunarungu yang mengalami tingkat ketulian 46-70 dB. Yaitu anak yang mengalami ketunarunguan taraf sedang, dimana anak dalam tahap ini hanya dapat mengerti percakapan pada jarak 3-5 feet secara berhadapan, tetapi tidak dapat mengikuti diskusi-diskusi di kelas. Untuk anak yang mengalami ketunarunguan taraf ini memerlukan adanya alat bantu dengar (hearing aid, dan memerlukan pembinaan komunikasi, persepsi bunyi dan irama.

c)      Tunarungu berat, yaitu penyandang tunarungu yang mengalami tingkat ketulian 71-90 dB. Dimana anak dalam tahap ini mengalami ketunarunguan taraf berat, hanya dapat merespon bunyi-bunyi dalam jarak yang sangat dekat dan diperkeras. Siswa dengan katagori ini juga memerlukan alat bantu dengar dalam mengikuti pendidikannya di sekolah. Siswa juga sangat memerlukan adanya pembinaan atau latihan-latihan komunikasi dan pengembangan bicaranya.

d)     Tunarungu sangat berat (profound), yaitu penyandang tunarungu yang mengalami tingkat ketulian 90 dB keatas. Pada taraf ini, mungkin seseorang sudah tidak dapat merespon suara sama sekali, tetapi mungkin masih bisa merespon melalui getaran-getaran suara yang ada. Untuk kegiatan pendidikan dan aktivitas lainnya, penyandang tunarungu katagori ini lebih mengandalkan kemampual visual atau penglihatannya.
Anak-anak yang berada dalam kondisi ini memiliki karakteristik yang khas, berbeda dari anak-anak normal pada umumnya. Beberapa karakteristik anak tunarungu, diantaranya adalah:
1.    Segi Fisik
a)      Cara belajarnya kaku dan agak membungkuk. Akibat terjadinya permasalahan pada organ keseimbangan pada telinga, menyebabkan anak-anak tunarungu mengalami kekurang seimbangan dalam aktivitas fisiknya.

b)      Pernapasannya pendek dan tidak teratur. Anak-anak tunarungu tidak pernah mendengarkan suara-suara dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana bersuara atau mengucapkan kata-kata dengan intonasi yang baik, sehingga mereka juga tidak terbiasa mengatur pernapasannya dengan baik, khususnya dalam berbicara.

c)      Cara melihatnya agak beringas. Penglihatan merupakan salah satu indera yang paling dominan bagi anak-anak penyandang tunarungu, dimana sebagian besar pengalamannya di peroleh melalui penglihatan. Oleh karena itu, anak-anak tunarungu juga dikenal dengan anak visual, sehingga cara melihatpun selalu menunjukkan keingintahuan yang besar dan terlihat beringas.
2.    Segi Bahasa
a)      Miskin akan kosa kata.

b)      Sulit mengartikan kata-kata yang mengandung ungkapan atau idiomatic.

c)      Tata bahasanya kurang teratur.
3.    Intelektual
a)      Kemampuan intelektualnya normal. Pada dasarnya anak-anak tunarungu tidak mengalami permasalahan dalam segi intelektual namun akibat keterbatasan dalam berkomunikasi dan berbahasa, perkembangan intelektual menjadi lambat.

b)       Perkembangan akademiknya lamban akibat keterbatasan bahasa. Seiring terjadinya kelambanan dalam perkembangan intelektualnya akibat adanya hambatan dalam berkomunikasi, maka dalam segi akademiknya juga mengalami keterlambatan.
4.    Sosial-emosional
a)      Sering merasa curiga dan berprasangka buruk. Sikap seperti ini terjadi akibat adanya kelainan fungsi pendengarannya. Anak-nak ini tidak dapat memahami apa yang dibicarakan orang lain, sehingga anak-anak tunarungu menjadi mudah merasa curiga.

b)      Sering bersikap agresif  (Suparno, 2007).

2.2. Perbedaan Sekolah Reguler dengan Sekolah Khusus bagi Anak Tunarungu
Salah satu hak hidup yang dimiliki oleh setiap manusia tidak terkecuali oleh anak yang mempunyai kebutuhan khusus adalah hak untuk mendapatkan pengajaran. Hak untuk mendapatkan pengajaran dapat diperoleh di sekolah. Selain itu sekolah juga merupakan tempat pembentukan karakter serta sarana bersosialisasi untuk mempersiapkan diri menuju jenjang yang lebih tinggi.
Untuk memfasilitasi sekolah bagi anak berkebutuhan khusus termasuk tunarungu untuk mendapatkan pendidikan yang layak, maka pemerintah dibantu oleh pihak swasta membentuk sekolah luar biasa yang biasa disingkat SLB. Sekolah ini mempunyai cara serta kurikulum yang disesuaikan bagi anak berkebutuhan khusus agar dapat mandiri serta mensejajarkan diri dengan anak normal. SLB dikategorikan berdasarkan jenis dari kebutuhan khusus yaitu, antara lain:
a)      SLB-A sekolah untuk bagi anak yang mempunyai gangguan penglihatan atau tunanetra.

b)      SLB-B sekolah untuk anak yang mempunyai gangguan pendengaran atau tunarungu.

c)      SLB-C sekolah untuk anak yang mempunyai masalah mental atau tunadaksa.

d)     SLB-D sekolah untuk anak yang mempunyai gangguan/cacat fisik.

e)      SLB-E sekolah untuk anak yang mempunyai gangguan perilaku, yang ditunjukkan dalam aktivitas kehidupan sehari-hari baik di sekolah maupun dalam lingkungan sosialnya.

f)       SLB-G sekolah untuk anak yang mempunyai beberapa gangguan sekaligus.

g)      Pendidikan Inkluisi adalah sekolah yang menerima anak yang normal dan anak yang mempunyai gangguan baik secara fisik maupun mental.
Khusus bagi anak dengan masalah gangguan pendengaran pilihan pertama untuk menyekolahkan anak adalah di SLB-B, hal ini disebabkan minimnya pengetahuan orang tua dalam membesarkan anak dengan gangguan pendengaran, termasuk memberikan pendidikan. Tapi pada perkembangan selanjutnya banyak kasus yang membuktikan bahwa anak dengan gangguan pendengaran dapat bersekolah di sekolah umum hal ini tak lepas dari beberapa faktor yang mendukung meningkatnya kualitas komunikasi 2 arah, yaitu:
a)      Kemajuan teknologi alat bantu dengar yang dapat menjangkau semua tingkat gangguan pendengaran dengan hadirnya teknologi digital, FM sistem dll.

b)       Kemajuan dunia medis dengan operasi kohlea.

c)      Beragamnya metode terapi yang dapat dipilih dan yang dapat disesuaikan bagi kebutuhan anak seperti speech therapy (terapi wicara), audio verbal therapy (terapi mendengar) dan Natural Auditory Oral (NAO) dll.
Banyak pula orang tua yang berpendapat bahwa SLB adalah sarana pendidikan yang paling baik bagi anak hal ini disebabkan oleh beratnya tingkat gangguan pendengaran yang mempengaruhi kemampuan komunikasi hingga belum dapat berkomunikasi verbal 2 arah yang dengan baik. Berikut ini adalah beberapa kasus jenjang pendidikan yang diambil oleh orang tua dalam menyekolahkan anak dengan gangguan pendengaran:
a)      Bersekolah di SLB, dari awal pra sekolah, TK hingga pendidikan menengah atas (SMA) bersekolah di SLB.

b)      Bersekolah di SLB kemudian pindah ke sekolah reguler, dengan melihat perkembangan kemampuan komunikasi 2 arah yang makin baik banyak orang tua berkeyakinan bahwa anak dapat bersekolah di sekolah reguler, biasanya hal ini dimulai selepas dari TK atau SD.

c)      Bersekolah di sekolah reguler, beberapa kasus menunjukkan bahwa anak dengan gangguan pendengaran dapat bersekolah di sekolah reguler sejak TK hingga SMA, dengan dibantu dengan terapi yang sesuai dengan kebutuhan anak secara intensif  sejak balita.
Adapun perbedaan yang mendasar antara sekolah reguler dan sekolah berkebutuhan khusus, adalah sebagai berikut:
1.    Kurikulum
a)      SLB sudah mempunyai kurikulum yang disesuaikan dengan kebutuhan anak dengan gangguan pendengaran.
b)      Sekolah umum tidak mempunyai kurikulum khusus bagi anak dengan gangguan pendengaran, anak harus berusaha lebih agar dapat mengikuti tahapan pembelajaran (kurikulum) di sekolah serta berkompetisi dengan teman- temannya yang mendengar normal.
2.    Guru
a)      SLB mempunyai guru dengan latar belakang pendidikan bagi anak yang mempunyai gangguan pendengaran.
b)      Banyak Sekolah reguler tidak mempunyai guru dengan latar belakang pendidikan bagi anak yang mempunyai gangguan pendengaran. Akan tetapi belakangan ini pemerintah melalui SD Negeri mempunyai program inklusi bagi anak dengan kebutuhan khusus  dengan menyediakan guru pendamping kelas.
3.    Jumlah murid
a)      Jumlah murid di SLB cenderung sedikit karena di dalam sistem pengajaran menitikberatkan sistem individual.
b)      Jumlah murid cenderung banyak dan bersifat klasikal, anak dituntut untuk banyak bertanya apabila tidak memahami.
4.    Kualitas komunikasi
a)      Kualitas komunikasi verbal anak dengan gangguan pendengaran yang bersekolah di SLB biasanya tidak sebaik anak dengan gangguan pendengaran yang bersekolah di sekolah reguler, hal ini bisa jadi disebabkan karena mereka tidak terbiasa berkomunikasi dengan orang normal. Penggunaan bahasa isyarat merupakan hal wajar untuk berkomunikasi di antara sesama.
b)      Peningkatan kualitas komunikasi diperlihatkan karena anak dengan     gangguan pendengaran dipaksa oleh keadaan untuk berusaha dengan keras berkomunikasi dengan baik dengan anak-anak dan lingkungan yang mendengar.
Dari uraian diatas, ada baiknya bahwa orang tua harus berpandangan realistis dan meredam keinginan yang didasari oleh emosi di dalam menentukan sekolah yang sesuai dengan kebutuhan anak, karena perkembangan intelektual, emosi serta perilaku setiap anak berbeda. Perlu penilaian, evaluasi serta observasi yang objektif oleh orang tua terhadap anak sebelum menentukan pilihan yang tepat untuk anak di dalam mendapatkan pendidikan.
Bukan berarti anak yang mempunyai gangguan pendengaran yang bersekolah di sekolah reguler lebih baik kualitas hidupnya dari pada anak yang bersekolah di SLB, karena banyak juga anak-anak jebolan SLB yang berhasil menjadi seorang profesional bekerja secara formal. Begitu juga sebaliknya banyak pula  anak dengan gangguan pendengaran yang bersekolah di sekolah reguler yang berhasil pula menjadi seorang profesional. Jadi sekolah dimanapun baik di sekolah reguler atau SLB bukan hal yang perlu dipermasalahkan asal pilihan orang tua sesuai dengan kemampuan anak. Tugas seorang guru dalam hal ini adalah terus membimbing, menemukan bakat serta potensi agar anak siap di kehidupan yang akan datang, agar semua mempunyai kesempatan yang sama di dalam hidup, termasuk di dalamnya memperoleh pendidikan dan kesempatan kerja (Anonim, 2011).



2.3 Hasil Observasi
Sesuai hasil wawancara yang telah dilakukan di SLB B Negeri Cicendo, kurikulum yang digunakan adalah kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) dengan bobot yang berbeda dan disesuaikan dengan ketunaannya, hal ini disebabkan karena SLB berbeda dengan sekolah reguler dari segi akademisnya, sosialnya, dan banyak hal yang membuat anak-anak yang sekolah di SLB itu berbeda dengan anak-anak yang bersekolah di sekolah reguler. RPP yang digunakan di SLB sama dengan RPP yang ada di sekolah regular namun disesuaikan dengan kondisi setiap kelas, dimana ada tiga kriteria yang dimiliki oleh anak yaitu total, sedang, dan ringan.
a. Strategi mengajar
Di SLB B Negeri Cicendo jenis strategi mengajar yang diterapkan yaitu pendekatan strategi pengajaran yang berpusat pada guru (teacher centerd). Strategi pengajaran yang berpusat pada guru, menunjukan ciri yang khas yaitu guru yang mendominasi semua proses belajar-mengajar, artinya semua kegiatan dimulai dari inisiatif dan keputusan semua terletak pada guru. Sedangkan strategi pengajaran yang berpusat pada siswa menunjukan ciri bahwa siswalah yang berinisiatif dalam proses belajar-mengajar termasuk juga siswa berperan dalam menentukan keputusan. Metode yang digunakan di SLB-B dengan di sekolah regular berbeda, disesuaikan dengan materi dan tingkat kemampuan anak. Guru akan memberitahu anak dengan menggunakan bahasa isyarat, anak akan mengerti dan langsung melakukan instruksi yang diberikan oleh guru. Dalam penyampaian materi seorang guru harus memperhatikan beberapa hal, diantaaranya bahasa isyarat tubuh, mimik muka, pengucapan yang pelan serta jelas. Hal tersebut bertujuan untuk mempermudah siswa menangkap maksud dari materi yang guru berikan.
b. Asas dalam mengajar penjas adaptif
                        b.1 Asas Motivasi
Motivasi merupakan unsur penting dalam mengajar pada anak berkebutuhan khusus, guru harus bisa mempengaruhi siswanya untuk melakukan tugas gerak yang diberikan, sehingga dalam diri siswa timbul suatu alasan, suatu motif untuk belajar seperti apa yang diharapkan guru tersebut.
b.2 Asas Aktivitas
Maksud dari asas ini adalah siswa diajak mengaktivkan fisik dan psikis yang sedang belajar, siswa harus sadar pada saat itu dia sedang melakukan belajar. Jadi siswa tidak hanya mendapatkan materi dan tugas gerak saja tapi juga bisa menerapkannya dalam kehidupan kesehariannya.
b.3 Asas Individualitas
Dalam suatu kelas setiap individu berbeda-beda dan sangat unik. Dengan keragaman seperti itu, guru penjas adaptif harus menyesuaikan perbedaan individu siswa.
b.4 Asas Peragaan
Dalam mengajar penjas adaptif peragaan merupakan unsur penting saat menyampaikan materi, dengan contoh saat kami kemarin melakukan penelitian di cicendo yang notabene siswa yang kami ajar adalah tunarungu maka peragaan adalah modal kami dalam menyampaikan materi agar dapat dipahami para siswa.
b.5 Asas Kerjasama
Kerjasama sangat penting diterapkan pada anak-anak, anak berkebutuhan khusus kadang lebih sibuk dengan dunianya sendiri. Maka dari itu kerjasama harus kita berikan kepada mereka.
b.6 Asas Pengulangan
Pengulangan dalam memberikan tugas gerak merupakan hal yang sangat penting, karena dengan keterbatasan mereka mungkin akan sedikit kesulitan jika guru tidak memberikan pengulangan mengenai tugas gerak yang akan diberikan.
b.7 Asas Evaluasi
Asas ini sangat penting dalam proses belajar mengajar. Dari evaluasi juga kita akan mendapatkan gambaran kemajuan hasil belajar siswa, dan kedepannya untuk memperbaiki dan menyempurnakan agar siswa terdorong untuk lebih giat lagi dalam belajar.
Dari hasil observasi yang kami lakukan, kami mengamati kegiatan guru penjas yang berlatar belakang lulusan kepelatihan FPOK ini dalam memberikan materi kepada siswa. Tahap awal pembelajaran guru terlihat mempersiapkan perlengkapan yang akan digunakan. Fasilitas perlengkapan penjas yang tersedia cukup memadai untuk digunakan dalam proses pembelajaran. Setelah mempersiapkan peralatan lalu guru tersebut membariskan siswa untuk melakukan pemanasan sebelum memulai pembelajaran pada hari itu.
c. Fasilitas dan peralatan penjas
            c.1 Bola Kecil
SLB cicendo memiliki 19 bola dengan ukuran bola tenis, bola ini digunakan untuk permainan-permainan yang seperti lempar tangkap, memindahkan bola. Dan bola ini lebih sering digunakan bagi anak TK.
            c.2 Trampolin
SLB cicendo juga memiliki sebuah trampolin dengan ukuran diameter sekitar 2 meter. Trampolin ini biasa digunakan oleh anak TK dan anak SD cicendo agar para siswa juga tidak merasa bosan dengan permainan lari dan lempar.
c.3 Hulla hoop
Hulla hoop ada dan digunakan sebagai alat senam atau pengganti rintangan serta cone dalam suatu permainan.
c.4 Modifikasi
Banyak alat modifikasi yang kami temukan di SLB cicendo ini berupa bola, gawang, alat untuk membuat rintangan. Dll.
Dalam penyampaian materi ajar pada siswa SLB B berbeda caranya dibandingkan dengan siswa reguler. Di SLB B seorang guru harus dapat memberikan materi dengan cara bahasa isyarat tubuh, pengucapan kata dengan pelan dan jelas serta mimik muka yang lebih ekpresif.
Materi ajar yang diberikan guru pada hari itu yaitu permainan bola kecil dan modifikasi olahraga gulat. Pada permainan bola kecil guru merancang permainan melalui aktivitas lari, melompat lalu melempar bola kedalam target. Permainan ini membentuk karakter siswa untuk bekerjasama dengan teman satu timnya, percaya diri dalam melakukan permainan, melatih konsentrasi siswa serta disiplin. Sedangkan modifikasi olahraga gulat dilakukan dengan cara permainan tangkap ekor dan rebut bola. Permainan ini dilakukan di matras secara kompetisi antara dua siswa yang berlawanan. Pada saat permainan berlangsung, terlihat adanya reward and punishment yang diberikan guru terhadap siswa. Reward yang guru berikan berupa tepuk tangan dan acungan jempol dengan mimik muka senang kepada siswa yang melakukan gerakan yang baik serta menunjukan sikap yang baik juga saat pelaksanaan aktivitas permainan. Sedangkan punishment diberikan kepada siswa yang mencerminkan perilaku tidak baik melalui cara guru memisahkan siswa tersebut disuatu tempat, hukuman diberikan sampai siswa mengakui kesalahannya dan mau untuk meminta maaf.
Dalam kegiatan ini kami tidak hanya mengamati proses pembelajaran saja, tetapi juga kami turut serta untuk bermain bersama para siswa. Kendala utama yang kami rasakan adalah sulitnya komunikasi dengan para siswa. Karena kami baru mengenal bagaimana cara berkomunikasi yang dilakukan melalui isyarat tubuh. Hal lain yang menjadi perhatian kami yaitu minimnya SDM terutama guru penjas yang berlatar belakang pendidikan jasmani.
Mengenai ekstrakulikuler yang diterapkan disekolah ini, terdapat beberapa ekstrakurikuler yang diberikan atau dilatihkan pada anak yaitu pramuka, tari, olahraga seperti spakbola dan bulutangkis, komputer (IT), kerajinan tangan seperti menjahit dan sablon.


BAB III
PENUTUP

3.1.      Simpulan
Tunarungu adalah sebuah istilah yang merujuk pada kondisi ketidak fungsian organ pendengaran atau telinga seseorang. Anak-nak dalam kondisi ini mengalami hambatan atau keterbatasan dalam merespon bunyi-bunyi yang ada disekitarnya. Untuk memfasilitasi sekolah bagi anak berkebutuhan khusus (tunarungu) untuk mendapatkan pendidikan yang layak, maka pemerintah dibantu oleh pihak swasta membentuk sekolah luar biasa yang biasa disingkat SLB.
Pembelajaran di SLB-B Negeri Cicendo ini juga menggunakan RPP yang sama dengan RPP yang ada di sekolah regular namun disesuaikan dengan kondisi setiap kelas, dimana ada tiga kriteria yang dimiliki oleh anak yaitu total, sedang, dan ringan. Keberhasilan yang dicapai oleh setiap anak pun berbeda, ada yang bisa menangkap dalam waktu 1 hari, seminggu, sebulan bahkan tahunan tergantung kemampuan anak tersebut dalam menangkap materi pembelajaran. Layanan pendidikan yang digunakan yaitu lebih banyak menggunakan layanan face to face (tatap muka) karena di SLB tidak mungkin menggunakan sistim klasikal, hal itu disebabkan oleh SLB menangani anak yang berkebutuhan khusus perlu penanganan khusus dan yang lebih banyak diterapkan yaitu bimbingan perseorangannya.

3.2.      Saran
Dengan adanya makalah ini diharapkan para pembaca dapat mengetahui tentang definisi/karakteristik, lembaga pendidikan sekolah khusus dan regular, serta observasi mengenai pelayanan pendidikan, rencana pembelajaran yang diperoleh di SLB-B. Dan juga dapat di jadikan referensi atau pedoman dalam mengkaji tentang kekhususan yang dimiliki oleh anak berkebutuhan khusus khususnya anak yang memiliki gangguan pada  pendengaran/tunarungu. Untuk kekurangan dalam makalah ini penulis menerima kritik dan saran dari pembaca.


Daftar Pustaka
Tarigan, Beltasar (2009). Optimalisasi Pendidikan Jasmani dan Olahraga Berlandaskan Ilmu Faal Olahraga. FPOK UPI Bandung.
Tarigan, Beltasar (2013). Pendidikan Jasmani Adaptif. FPOK UPI Bandung.


LAMPIRAN
DSC09629.JPG

DSC09831.JPG

DSC09773.JPG
DSC09787.JPG
DSC09804.JPG

DSC09824.JPG