BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Anak-anak berkebutuhan khusus adalah anak-anak yang
mempunyai keunikan tersendiri dalam jenis dan kararteristiknya, yang membedakan
mereka dari anak anak normal pada umumnya. Keragaman anak berkebutuhan khusus
terkadang menyulitkan guru dalam upaya menemukan jenis dan pemberian layanan
pendidikan yang sesuai. Namun apabila guru telah memiliki pemahaman dan
pengetahuan tentang hakikat anak berkebutuhan khusus, maka mereka akan mampu
memenuhi kebutuhan dari anak berkebutuhan khusus tersebut.
Ada beberapa istilah yang sering digunakan untuk
menunjukkan keadaan anak berkebutuhan khusus. Istilah anak berkebutuhan khusus
merupakan terjemahan dari child with special needsyang telah digunakan
luas pada dunia internasional. Penggunaan istilah anak berkebutuhan khusus
mengubah cara pandang yang berbeda akan anak luar biasa. Jika pada istilah luar
biasa lebih menitik beratkan pada kondisifisik, mental, dan emosi social anak
maka pada berkebutuhan khusus lebih menekankan pada kebutuhan anak untuk
mencapai prestasi sesuai dengan kebutuhaannya.
Pemerintah hadir sebagai pelindung dari anak-anak
berkebutuhan khusus ini. Ini dibuktikan dengan adanya beberapa landasan hukum
yang melindungi anak-anak berkebutuhan khusus ini melau dari UUD 1945, UU No. 4
tahun 1997 tentang Penyandang Cacat hingga PP. No. 43 Tahun 1998 tentang Upaya
Kesejahteraan Sosoal Penyandang Cacat. Dari berbagai peraturan perundangan dan
kesepakatan tersebut telah mencakup hampir semua hak anak-anak berkebutuhan
khusus dan yang sering menjadi permasalahan adalah pelanggaran terhadap hak-hak
tersebut belum jelas sanksinya.
Layanan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus ada
beberapa jenis namun yan paling sering kita temui adalah layanan pendidikan
segresi dimana sistem layanan pendidikan segresi adalah sistem pendidikan
yang terpisah dari sistem pendidikan anak normal. Dengan kata lain anak
berkebutuhan khusus diberikan layanan pendidikan pada lembaga pendidikan khusus
untuk anak berkebutuhan khusus seperti : Sekolah Luar Biasa, Sekolah Dasar Luar
Biasa, Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa, dan Sekolah Menengah Atas Luar
Biasa.
Sekolah Luar Biasa atau SLB merupakan sebuah unit tertua
dari sekolah sekolah berkebutuhan khusus lainnya. Struktur SLB ini terdiri dari
seorang kepala sekolah dan guru pada satu kelainan tertentu sehingga SLB dibagi
menjadi beberapa unit yaitu SLB-A untuk tunanetra, SLB-B untuk tunarungu, SLB-C
untuk tunagrahita, SLB-D untuk tunadaksa, dan SLB-E untuk tunalaras. Sistem
pengajaran pada SLB lebih mengarah pada sistem pengajaran Individualisasi.
Dewasa ini pemahaman masyarakat mengenai anak berkebutuhan
khusus dan layanan pendidikan yang menaunginya sangatlah minim. Oleh sebab itu
penulis memandang perlu penjelasan secara khusus mengenai anak-anak yang
berkebutuhan khusus serta lembaga-lembaga yang menjadi sarana pendidikan bagi
anak-anak berkebutuhan khusus tersebut. Sesuai dengan tugas yang berikan,
penulis akan mencoba membahan mengenai anak berkebutuhan khusus yang sering
dinamakan anak tunarungu serta lembaga pendidikan nya yaitu SLB-B serta proses
pembelajaran dalam upaya memaksimalkan prestasi dan potensi dari anak berkebutuhan
khusus tersebut. Penulis berharap dapat memberikan informasi kepada pembaca
khususnya para guru dan masyarakat luas.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang diangkat pada makalah ini
adalah :
1. Apakah definisi
dan karakteristik dari anak tunarungu?
2. Apakah perbedaan sekolah reguler dengan sekolah
khusus bagi anak tunarungu?
3. Bagaimanakah
proses pembelajaran yang dilaksanakan bagi anak tunarungu?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini :
1. Untuk mengetahui
definisi dan karakteristik dari anak tunarungu.
2. Untuk mengetahui
perbedaan sekolah reguler dengan sekolah khusus bagi anak tunarungu.
3. Untuk mengetahui proses pembelajaran yang dilaksanakan
bagi anak tunarungu.
1.4 Manfaat
Dengan adanya makalah ini pembaca dapat mengetahui lebih
dalam lagi mengenai anak-anak berkebutuhan khusus, termasuk juga mengenai
lembaga pendidikan yang menaunginya dan juga proses belajar dan pembelajaran
yang dilakukan di lembaga pendidikan khusus tersebut. Penulis berharap makalah
ini dapat dijadikan referensi yang berguna untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
mengenai anak tunarungu termasuk lembaga khusus SLB-B serta proses atau kegitan
pembelajaran yang yang dilakukan anak berkebutuhan khusus tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi dan
Karakteristik dari Anak Tunarungu
Anak berkebutuhan khusus adalah anak-anak yang memiliki
keunikan tersendiri dalam jenis dan karakteristiknya, yang membedakan mereka
dari anak-nak normal pada umumnya. Jenis-jenis anak berkebutuhan khusus ini
antara lain, tunanetra, tunarunggu, tunagrahita, tunadaksa, dan tuna laras.
Pada makalah ini, akan dibahas secara mendalam mengenai
definisi dan karakteristik anak tunarungu. Tunarungu adalah sebuah istilah yang
merujuk pada kondisi ketidak fungsian organ pendengaran atau telinga seseorang.
Anak-nak dalam kondisi ini mengalami hambatan atau keterbatasan dalam merespon
bunyi-bunyi yang ada disekitarnya. Tunarungu terdiri atas beberapa tingkatan
kemampuan mendengar, yang umum dan khusus. Ada beberapa klasifikasi anak
tunarungu, yaitu:
1. Klasifikasi umum
a)
Tuli (The
deaf), yaitu penyandang tunarungu berat dan sangat berat dengan tingkat
ketulian di atas 90 dB.
b)
Kurang
dengar (Hard of Hearing), yaitu penyandang tunarungu ringan atau sedang,
dengan derajat ketulian 20-90 dB.
2. Klasifikasi Khusus
a)
Tunarungu
ringan, yaitu penyandang tunarungu yang mengalami tingkat ketulian 25-45 dB.
Yaitu anak yang mengalami ketunarunguan taraf ringan, dimana anak dalam tahap
ini mengalami kesulitan untuk merespon suara-suara yang datangnya agak jauh.
Pada kondisi yang demikian, seorang anak secara pedagogis sudah memerlukan
perhatian khusus dalam belajarnya di sekolah, misalnya dengan menempatkan
tempat duduk dibagian depan, dekat dengan guru.
b)
Tunarungu
sedang, yaitu penyandang tunarungu yang mengalami tingkat ketulian 46-70 dB.
Yaitu anak yang mengalami ketunarunguan taraf sedang, dimana anak dalam tahap
ini hanya dapat mengerti percakapan pada jarak 3-5 feet secara
berhadapan, tetapi tidak dapat mengikuti diskusi-diskusi di kelas. Untuk anak
yang mengalami ketunarunguan taraf ini memerlukan adanya alat bantu
dengar (hearing aid, dan memerlukan pembinaan komunikasi, persepsi
bunyi dan irama.
c)
Tunarungu
berat, yaitu penyandang tunarungu yang mengalami tingkat ketulian 71-90 dB.
Dimana anak dalam tahap ini mengalami ketunarunguan taraf berat, hanya dapat
merespon bunyi-bunyi dalam jarak yang sangat dekat dan diperkeras. Siswa dengan
katagori ini juga memerlukan alat bantu dengar dalam mengikuti pendidikannya di
sekolah. Siswa juga sangat memerlukan adanya pembinaan atau latihan-latihan
komunikasi dan pengembangan bicaranya.
d)
Tunarungu
sangat berat (profound), yaitu penyandang tunarungu yang mengalami
tingkat ketulian 90 dB keatas. Pada taraf ini, mungkin seseorang sudah tidak
dapat merespon suara sama sekali, tetapi mungkin masih bisa merespon melalui
getaran-getaran suara yang ada. Untuk kegiatan pendidikan dan aktivitas
lainnya, penyandang tunarungu katagori ini lebih mengandalkan kemampual visual
atau penglihatannya.
Anak-anak yang berada dalam kondisi
ini memiliki karakteristik yang khas, berbeda dari anak-anak normal pada
umumnya. Beberapa karakteristik anak tunarungu, diantaranya adalah:
1. Segi Fisik
a)
Cara
belajarnya kaku dan agak membungkuk. Akibat terjadinya permasalahan pada organ
keseimbangan pada telinga, menyebabkan anak-anak tunarungu mengalami kekurang
seimbangan dalam aktivitas fisiknya.
b)
Pernapasannya
pendek dan tidak teratur. Anak-anak tunarungu tidak pernah mendengarkan
suara-suara dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana bersuara atau mengucapkan
kata-kata dengan intonasi yang baik, sehingga mereka juga tidak terbiasa mengatur
pernapasannya dengan baik, khususnya dalam berbicara.
c)
Cara
melihatnya agak beringas. Penglihatan merupakan salah satu indera yang paling
dominan bagi anak-anak penyandang tunarungu, dimana sebagian besar
pengalamannya di peroleh melalui penglihatan. Oleh karena itu, anak-anak
tunarungu juga dikenal dengan anak visual, sehingga cara melihatpun selalu
menunjukkan keingintahuan yang besar dan terlihat beringas.
2. Segi Bahasa
a)
Miskin
akan kosa kata.
b)
Sulit
mengartikan kata-kata yang mengandung ungkapan atau idiomatic.
c)
Tata
bahasanya kurang teratur.
3. Intelektual
a)
Kemampuan
intelektualnya normal. Pada dasarnya anak-anak tunarungu tidak mengalami
permasalahan dalam segi intelektual namun akibat keterbatasan dalam
berkomunikasi dan berbahasa, perkembangan intelektual menjadi lambat.
b)
Perkembangan
akademiknya lamban akibat keterbatasan bahasa. Seiring terjadinya kelambanan
dalam perkembangan intelektualnya akibat adanya hambatan dalam berkomunikasi,
maka dalam segi akademiknya juga mengalami keterlambatan.
4. Sosial-emosional
a)
Sering
merasa curiga dan berprasangka buruk. Sikap seperti ini terjadi akibat adanya
kelainan fungsi pendengarannya. Anak-nak ini tidak dapat memahami apa yang
dibicarakan orang lain, sehingga anak-anak tunarungu menjadi mudah merasa
curiga.
b)
Sering
bersikap agresif (Suparno, 2007).
2.2. Perbedaan Sekolah Reguler
dengan Sekolah Khusus bagi Anak Tunarungu
Salah satu hak hidup yang dimiliki
oleh setiap manusia tidak terkecuali oleh anak yang mempunyai kebutuhan khusus
adalah hak untuk mendapatkan pengajaran. Hak untuk mendapatkan pengajaran dapat
diperoleh di sekolah. Selain itu sekolah juga merupakan tempat pembentukan
karakter serta sarana bersosialisasi untuk mempersiapkan diri menuju jenjang
yang lebih tinggi.
Untuk memfasilitasi sekolah bagi anak
berkebutuhan khusus termasuk tunarungu untuk mendapatkan pendidikan yang layak,
maka pemerintah dibantu oleh pihak swasta membentuk sekolah luar biasa yang
biasa disingkat SLB. Sekolah ini mempunyai cara serta kurikulum yang disesuaikan
bagi anak berkebutuhan khusus agar dapat mandiri serta mensejajarkan diri
dengan anak normal. SLB dikategorikan berdasarkan jenis dari kebutuhan khusus
yaitu, antara lain:
a)
SLB-A
sekolah untuk bagi anak yang mempunyai gangguan penglihatan atau tunanetra.
b)
SLB-B
sekolah untuk anak yang mempunyai gangguan pendengaran atau tunarungu.
c)
SLB-C
sekolah untuk anak yang mempunyai masalah mental atau tunadaksa.
d)
SLB-D
sekolah untuk anak yang mempunyai gangguan/cacat fisik.
e)
SLB-E
sekolah untuk anak yang mempunyai gangguan perilaku, yang ditunjukkan dalam
aktivitas kehidupan sehari-hari baik di sekolah maupun dalam lingkungan
sosialnya.
f)
SLB-G
sekolah untuk anak yang mempunyai beberapa gangguan sekaligus.
g)
Pendidikan
Inkluisi adalah sekolah yang menerima anak yang normal dan anak yang mempunyai
gangguan baik secara fisik maupun mental.
Khusus bagi anak dengan masalah
gangguan pendengaran pilihan pertama untuk menyekolahkan anak adalah di SLB-B,
hal ini disebabkan minimnya pengetahuan orang tua dalam membesarkan anak dengan
gangguan pendengaran, termasuk memberikan pendidikan. Tapi pada perkembangan
selanjutnya banyak kasus yang membuktikan bahwa anak dengan gangguan
pendengaran dapat bersekolah di sekolah umum hal ini tak lepas dari beberapa
faktor yang mendukung meningkatnya kualitas komunikasi 2 arah, yaitu:
a)
Kemajuan
teknologi alat bantu dengar yang dapat menjangkau semua tingkat gangguan
pendengaran dengan hadirnya teknologi digital, FM sistem dll.
b)
Kemajuan
dunia medis dengan operasi kohlea.
c)
Beragamnya
metode terapi yang dapat dipilih dan yang dapat disesuaikan bagi kebutuhan anak
seperti speech therapy (terapi wicara), audio verbal
therapy (terapi mendengar) dan Natural Auditory Oral (NAO) dll.
Banyak pula orang tua yang
berpendapat bahwa SLB adalah sarana pendidikan yang paling baik bagi anak hal
ini disebabkan oleh beratnya tingkat gangguan pendengaran yang mempengaruhi
kemampuan komunikasi hingga belum dapat berkomunikasi verbal 2 arah yang dengan
baik. Berikut ini adalah beberapa kasus jenjang pendidikan yang diambil oleh
orang tua dalam menyekolahkan anak dengan gangguan pendengaran:
a)
Bersekolah
di SLB, dari awal pra sekolah, TK hingga pendidikan menengah atas (SMA)
bersekolah di SLB.
b)
Bersekolah
di SLB kemudian pindah ke sekolah reguler, dengan melihat perkembangan
kemampuan komunikasi 2 arah yang makin baik banyak orang tua berkeyakinan bahwa
anak dapat bersekolah di sekolah reguler, biasanya hal ini dimulai selepas dari
TK atau SD.
c)
Bersekolah
di sekolah reguler, beberapa kasus menunjukkan bahwa anak dengan gangguan
pendengaran dapat bersekolah di sekolah reguler sejak TK hingga SMA, dengan
dibantu dengan terapi yang sesuai dengan kebutuhan anak secara intensif
sejak balita.
Adapun perbedaan yang mendasar antara sekolah reguler dan
sekolah berkebutuhan khusus, adalah sebagai berikut:
1. Kurikulum
a)
SLB
sudah mempunyai kurikulum yang disesuaikan dengan kebutuhan anak dengan
gangguan pendengaran.
b)
Sekolah
umum tidak mempunyai kurikulum khusus bagi anak dengan gangguan pendengaran,
anak harus berusaha lebih agar dapat mengikuti tahapan pembelajaran (kurikulum)
di sekolah serta berkompetisi dengan teman- temannya yang mendengar normal.
2. Guru
a)
SLB
mempunyai guru dengan latar belakang pendidikan bagi anak yang mempunyai
gangguan pendengaran.
b)
Banyak
Sekolah reguler tidak mempunyai guru dengan latar belakang pendidikan bagi anak
yang mempunyai gangguan pendengaran. Akan tetapi belakangan ini pemerintah
melalui SD Negeri mempunyai program inklusi bagi anak dengan kebutuhan
khusus dengan menyediakan guru pendamping kelas.
3. Jumlah murid
a)
Jumlah
murid di SLB cenderung sedikit karena di dalam sistem pengajaran
menitikberatkan sistem individual.
b)
Jumlah
murid cenderung banyak dan bersifat klasikal, anak dituntut untuk banyak
bertanya apabila tidak memahami.
4. Kualitas komunikasi
a)
Kualitas
komunikasi verbal anak dengan gangguan pendengaran yang bersekolah di SLB
biasanya tidak sebaik anak dengan gangguan pendengaran yang bersekolah di
sekolah reguler, hal ini bisa jadi disebabkan karena mereka tidak terbiasa
berkomunikasi dengan orang normal. Penggunaan bahasa isyarat merupakan hal
wajar untuk berkomunikasi di antara sesama.
b)
Peningkatan
kualitas komunikasi diperlihatkan karena anak dengan
gangguan pendengaran dipaksa oleh keadaan untuk berusaha dengan keras berkomunikasi
dengan baik dengan anak-anak dan lingkungan yang mendengar.
Dari uraian diatas, ada baiknya bahwa
orang tua harus berpandangan realistis dan meredam keinginan yang
didasari oleh emosi di dalam menentukan sekolah yang sesuai dengan kebutuhan
anak, karena perkembangan intelektual, emosi serta perilaku setiap anak
berbeda. Perlu penilaian, evaluasi serta observasi yang objektif oleh orang tua
terhadap anak sebelum menentukan pilihan yang tepat untuk anak di dalam
mendapatkan pendidikan.
Bukan berarti anak yang mempunyai
gangguan pendengaran yang bersekolah di sekolah reguler lebih baik kualitas
hidupnya dari pada anak yang bersekolah di SLB, karena banyak juga anak-anak
jebolan SLB yang berhasil menjadi seorang profesional bekerja secara formal.
Begitu juga sebaliknya banyak pula anak dengan gangguan pendengaran yang
bersekolah di sekolah reguler yang berhasil pula menjadi seorang profesional.
Jadi sekolah dimanapun baik di sekolah reguler atau SLB bukan hal yang perlu
dipermasalahkan asal pilihan orang tua sesuai dengan kemampuan anak. Tugas
seorang guru dalam hal ini adalah terus membimbing, menemukan bakat serta
potensi agar anak siap di kehidupan yang akan datang, agar semua mempunyai
kesempatan yang sama di dalam hidup, termasuk di dalamnya memperoleh pendidikan
dan kesempatan kerja (Anonim, 2011).
2.3 Hasil Observasi
Sesuai hasil wawancara yang telah
dilakukan di SLB B Negeri Cicendo, kurikulum yang digunakan adalah kurikulum
tingkat satuan pendidikan (KTSP) dengan bobot yang berbeda dan disesuaikan
dengan ketunaannya, hal ini disebabkan karena SLB berbeda dengan sekolah
reguler dari segi akademisnya, sosialnya, dan banyak hal yang membuat anak-anak
yang sekolah di SLB itu berbeda dengan anak-anak yang bersekolah di sekolah
reguler. RPP yang digunakan di SLB sama dengan RPP yang ada di sekolah regular
namun disesuaikan dengan kondisi setiap kelas, dimana ada tiga kriteria yang
dimiliki oleh anak yaitu total, sedang, dan ringan.
a. Strategi mengajar
Di SLB B Negeri Cicendo jenis
strategi mengajar yang diterapkan yaitu pendekatan strategi pengajaran yang
berpusat pada guru (teacher centerd). Strategi pengajaran yang berpusat pada
guru, menunjukan ciri yang khas yaitu guru yang mendominasi semua proses
belajar-mengajar, artinya semua kegiatan dimulai dari inisiatif dan keputusan
semua terletak pada guru. Sedangkan strategi pengajaran yang berpusat pada
siswa menunjukan ciri bahwa siswalah yang berinisiatif dalam proses
belajar-mengajar termasuk juga siswa berperan dalam menentukan keputusan. Metode
yang digunakan di SLB-B dengan di sekolah regular berbeda, disesuaikan dengan
materi dan tingkat kemampuan anak. Guru akan memberitahu anak dengan
menggunakan bahasa isyarat, anak akan mengerti dan langsung melakukan instruksi
yang diberikan oleh guru. Dalam penyampaian materi seorang guru harus
memperhatikan beberapa hal, diantaaranya bahasa isyarat tubuh, mimik muka,
pengucapan yang pelan serta jelas. Hal tersebut bertujuan untuk mempermudah
siswa menangkap maksud dari materi yang guru berikan.
b. Asas dalam mengajar penjas adaptif
b.1
Asas Motivasi
Motivasi merupakan unsur penting
dalam mengajar pada anak berkebutuhan khusus, guru harus bisa mempengaruhi
siswanya untuk melakukan tugas gerak yang diberikan, sehingga dalam diri siswa
timbul suatu alasan, suatu motif untuk belajar seperti apa yang diharapkan guru
tersebut.
b.2 Asas Aktivitas
Maksud dari asas ini adalah siswa
diajak mengaktivkan fisik dan psikis yang sedang belajar, siswa harus sadar
pada saat itu dia sedang melakukan belajar. Jadi siswa tidak hanya mendapatkan
materi dan tugas gerak saja tapi juga bisa menerapkannya dalam kehidupan
kesehariannya.
b.3 Asas Individualitas
Dalam suatu kelas setiap individu
berbeda-beda dan sangat unik. Dengan keragaman seperti itu, guru penjas adaptif
harus menyesuaikan perbedaan individu siswa.
b.4 Asas Peragaan
Dalam mengajar penjas adaptif peragaan
merupakan unsur penting saat menyampaikan materi, dengan contoh saat kami
kemarin melakukan penelitian di cicendo yang notabene siswa yang kami ajar
adalah tunarungu maka peragaan adalah modal kami dalam menyampaikan materi agar
dapat dipahami para siswa.
b.5 Asas Kerjasama
Kerjasama sangat penting diterapkan
pada anak-anak, anak berkebutuhan khusus kadang lebih sibuk dengan dunianya
sendiri. Maka dari itu kerjasama harus kita berikan kepada mereka.
b.6 Asas Pengulangan
Pengulangan dalam memberikan tugas
gerak merupakan hal yang sangat penting, karena dengan keterbatasan mereka
mungkin akan sedikit kesulitan jika guru tidak memberikan pengulangan mengenai
tugas gerak yang akan diberikan.
b.7 Asas Evaluasi
Asas ini sangat penting dalam proses
belajar mengajar. Dari evaluasi juga kita akan mendapatkan gambaran kemajuan
hasil belajar siswa, dan kedepannya untuk memperbaiki dan menyempurnakan agar
siswa terdorong untuk lebih giat lagi dalam belajar.
Dari hasil observasi yang kami
lakukan, kami mengamati kegiatan guru penjas yang berlatar belakang lulusan
kepelatihan FPOK ini dalam memberikan materi kepada siswa. Tahap awal
pembelajaran guru terlihat mempersiapkan perlengkapan yang akan digunakan.
Fasilitas perlengkapan penjas yang tersedia cukup memadai untuk digunakan dalam
proses pembelajaran. Setelah mempersiapkan peralatan lalu guru tersebut
membariskan siswa untuk melakukan pemanasan sebelum memulai pembelajaran pada
hari itu.
c. Fasilitas dan peralatan penjas
c.1
Bola Kecil
SLB cicendo memiliki 19 bola dengan
ukuran bola tenis, bola ini digunakan untuk permainan-permainan yang seperti
lempar tangkap, memindahkan bola. Dan bola ini lebih sering digunakan bagi anak
TK.
c.2
Trampolin
SLB cicendo juga memiliki sebuah
trampolin dengan ukuran diameter sekitar 2 meter. Trampolin ini biasa digunakan
oleh anak TK dan anak SD cicendo agar para siswa juga tidak merasa bosan dengan
permainan lari dan lempar.
c.3 Hulla hoop
Hulla hoop ada dan digunakan sebagai
alat senam atau pengganti rintangan serta cone dalam suatu permainan.
c.4 Modifikasi
Banyak alat modifikasi yang kami
temukan di SLB cicendo ini berupa bola, gawang, alat untuk membuat rintangan.
Dll.
Dalam penyampaian materi ajar pada
siswa SLB B berbeda caranya dibandingkan dengan siswa reguler. Di SLB B seorang
guru harus dapat memberikan materi dengan cara bahasa isyarat tubuh, pengucapan
kata dengan pelan dan jelas serta mimik muka yang lebih ekpresif.
Materi ajar yang diberikan guru pada
hari itu yaitu permainan bola kecil dan modifikasi olahraga gulat. Pada
permainan bola kecil guru merancang permainan melalui aktivitas lari, melompat
lalu melempar bola kedalam target. Permainan ini membentuk karakter siswa untuk
bekerjasama dengan teman satu timnya, percaya diri dalam melakukan permainan,
melatih konsentrasi siswa serta disiplin. Sedangkan modifikasi olahraga gulat
dilakukan dengan cara permainan tangkap ekor dan rebut bola. Permainan ini
dilakukan di matras secara kompetisi antara dua siswa yang berlawanan. Pada
saat permainan berlangsung, terlihat adanya reward
and punishment yang diberikan guru terhadap siswa. Reward yang guru berikan berupa tepuk tangan dan acungan jempol
dengan mimik muka senang kepada siswa yang melakukan gerakan yang baik serta
menunjukan sikap yang baik juga saat pelaksanaan aktivitas permainan. Sedangkan
punishment diberikan kepada siswa
yang mencerminkan perilaku tidak baik melalui cara guru memisahkan siswa
tersebut disuatu tempat, hukuman diberikan sampai siswa mengakui kesalahannya
dan mau untuk meminta maaf.
Dalam kegiatan ini kami tidak hanya
mengamati proses pembelajaran saja, tetapi juga kami turut serta untuk bermain
bersama para siswa. Kendala utama yang kami rasakan adalah sulitnya komunikasi
dengan para siswa. Karena kami baru mengenal bagaimana cara berkomunikasi yang
dilakukan melalui isyarat tubuh. Hal lain yang menjadi perhatian kami yaitu
minimnya SDM terutama guru penjas yang berlatar belakang pendidikan jasmani.
Mengenai ekstrakulikuler yang
diterapkan disekolah ini, terdapat beberapa ekstrakurikuler yang diberikan atau
dilatihkan pada anak yaitu pramuka, tari, olahraga seperti spakbola dan
bulutangkis, komputer (IT), kerajinan tangan seperti menjahit dan sablon.
BAB III
PENUTUP
3.1. Simpulan
Tunarungu adalah sebuah istilah yang
merujuk pada kondisi ketidak fungsian organ pendengaran atau telinga seseorang.
Anak-nak dalam kondisi ini mengalami hambatan atau keterbatasan dalam merespon
bunyi-bunyi yang ada disekitarnya. Untuk memfasilitasi sekolah bagi anak
berkebutuhan khusus (tunarungu) untuk mendapatkan pendidikan yang layak, maka
pemerintah dibantu oleh pihak swasta membentuk sekolah luar biasa yang biasa
disingkat SLB.
Pembelajaran di SLB-B Negeri Cicendo
ini juga menggunakan RPP yang sama dengan RPP yang ada di sekolah regular namun
disesuaikan dengan kondisi setiap kelas, dimana ada tiga kriteria yang dimiliki
oleh anak yaitu total, sedang, dan ringan. Keberhasilan yang dicapai oleh
setiap anak pun berbeda, ada yang bisa menangkap dalam waktu 1 hari, seminggu,
sebulan bahkan tahunan tergantung kemampuan anak tersebut dalam menangkap
materi pembelajaran. Layanan pendidikan yang digunakan yaitu lebih banyak
menggunakan layanan face to face (tatap muka) karena di SLB tidak mungkin
menggunakan sistim klasikal, hal itu disebabkan oleh SLB menangani anak yang
berkebutuhan khusus perlu penanganan khusus dan yang lebih banyak diterapkan
yaitu bimbingan perseorangannya.
3.2. Saran
Dengan adanya makalah ini diharapkan
para pembaca dapat mengetahui tentang definisi/karakteristik, lembaga
pendidikan sekolah khusus dan regular, serta observasi mengenai pelayanan
pendidikan, rencana pembelajaran yang diperoleh di SLB-B. Dan juga dapat di
jadikan referensi atau pedoman dalam mengkaji tentang kekhususan yang dimiliki
oleh anak berkebutuhan khusus khususnya anak yang memiliki gangguan pada
pendengaran/tunarungu. Untuk kekurangan dalam makalah ini penulis
menerima kritik dan saran dari pembaca.
Daftar Pustaka
Tarigan, Beltasar (2009). Optimalisasi
Pendidikan Jasmani dan Olahraga Berlandaskan Ilmu Faal Olahraga. FPOK UPI
Bandung.
Tarigan, Beltasar (2013). Pendidikan
Jasmani Adaptif. FPOK UPI Bandung.
LAMPIRAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar